oleh: Anton Kuswoyo, S.Si., M.T.
Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan dan Sistem Informasi, Politeknik Negeri Tanah Laut.
Ketua DPD LDII Kabupaten Tanah Laut.
Manusia, selalu punya sisi baik dan sisi buruk. Di balik kelebihan selalu ada kekurangan, demikian juga di setiap kekurangan senantiasa terselip kelebihan. Sudah selayaknya para pemimpin negeri ini bisa menjadi pemimpin yang mampu memenuhi harapan rakyat banyak. Karena bagaimanapun juga rakyatlah yang telah memilihnya menjadi seorang pemimpin.
Kita dapat mengambil dua hikmah dari perseteruan DPRD DKI Jakarta vs Ahok. Pertama, sepandai-pandainya menyimpan kecurangan, pasti suatu saat akan ketahuan. Kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh apa pun. Ia bisa ditekan namun suatu saat pasti kebeneran akan muncul ke permukaan. Kebiasaan penggelembungan anggaran mulai terkuak. Inilah yang selama ini sangat merugikan rakyat.
Kedua, sangat penting untuk menerapkan etika komunikasi dan kesopanan dalam segala hal. Kebenaran yang disampaikan dengan tanpa etika sopan santun, sering berakhir menjadi bumerang yang mencelakakan diri sendiri. Sebagai pemimpin tentu sudah selayaknya menggunakan etika berkomunikasi yang tepat dan santun.
Warga Jakarta pernah disuguhkan tontonan perseteruan DPRD DKI Jakarta versus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sang gubernur saat itu. Berbagai media baik cetak, elektronik maupun dunia maya ramai menayangkan berita tersebut. Perseteruan Dewan vs gubernur ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun puncaknya adalah saat DPRD DKI melayangkan hak angket terhadap Ahok.
Berdasarkan Pasal 322 ayat 3 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD juncto Pasal 106 ayat 3 UU 23/2014 tentang Pemda, disebutkan bahwa hak angket merupakan hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan pemerintah yang penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan UU.
Penggunaan hak angket oleh DPRD ini terjadi karena menurut DPRD, Ahok dianggap melakukan pelanggaran berat, yakni menyerahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2015 kepada Menteri Dalam Negeri tanpa persetujuan DPRD. Dengan adanya hak angket, maka Ahok rawan menjadi tersangka jika bukti-buktinya ditemukan. Jika sudah menjadi tersangka, maka kemungkinan terburuknya adalah pemakzulan terhadap Ahok sebagai gubernur DKI.
Namun lain halnya dengan pengakuan Ahok, bahwa RAPBD DKI 2015 yang ia serahkan kepada Menteri Dalam Negeri adalah sudah melalui persetujuan DPRD berdasarkan hasil rapat. Adapun jika DPRD mengaku punya RAPBD sendiri, itu hasil rekayasa DPRD yang di dalamnya terdapat anggaran ‘siluman’ yang semestinya tidak layak untuk dianggarkan dalam RAPBD 2015. Tidak tanggung-tanggung, dana siluman RAPBD versi DPRD sebesar Rp 12,1 triliun.
Dari permasalahan tersebut, maka titik simpulnya adalah tidak adanya kesepahaman antara DPRD sebagai legislatif dan Ahok sebagai eksekutif dalam hal penyusunan RAPBD. Ada selisih dana Rp 12,1 triliun. Ahok yang dikenal jujur dan bersih, tidak menghendaki dana siluman Rp 12,1 triliun tersebut masuk dalam RAPBD. Di sinilah diduga adanya indikasi permainan anggaran oleh DPRD DKI.
Misalnya saja, kasus pengadaan uninterruptible power supply (UPS) atau alat penyimpan daya listrik 2014 lalu, dinilai terjadi penggelembungan pada APBD 2014. Dalam APBD disebutkan harga UPS sebesar Rp 5,8 miliar per unit, padahal menurut informasi harga UPS tersebut hanya Rp 100 juta. Betapa besar penggelembungan dana tersebut. Konon penggadaan UPS tersebut juga masuk RAPBD 2015 yang besarnya mencapai Rp 12,1 triliun. Inilah sesungguhnya yang tidak dikehendaki Ahok. Akhirnya Ahok pun mengajukan sendiri RAPBD ke Menteri Dalam Negeri yang tidak mencantumkan dana Rp 12,1 triliun tersebut.
Berbeda dengan pengakuan DPRD, menurutnya Ahok sangat arogan dalam berkomunikasi dan bertindak. Termasuk dengan caranya mengajukan sendiri RAPBD tanpa sepengetahuan DPRD. Tindakan Ahok tersebut jelas mengusik keberadaan dana siluman yang sudah dirancang oleh DPRD. Belum lagi cara komunikasi Ahok yang dinilai ceplas ceplos dan kasar. Mungkin bagi sebagian orang sangat menyakitkan hati.
Sosok Ahok yang berani, jujur dan bersih patut diapresiasi. Di zaman sekarang ini, sangat susah menemukan pejabat negara yang jujur dan bersih. Tanpa basa-basi dalam bekerja. Baginya jabatan adalah amanah rakyat yang harus dilaksanakan demi kepentingan rakyat. Yang ada dalam pikirannya adalah bekerja untuk rakyat secara bersih dan profesional. Keberanian Ahok membongkar dana siluman RAPBD juga patut diacungi jempol. Mungkin hanya sedikit eksekutif yang berani memberontak melawan legislatif demi menegakkan kebenaran. Konon Ahok juga pernah akan disuap agar mau menyetujui dana Rp 12,1 triliun masuk RAPBD. Namun, dengan tegas Ahok menolak kongkalikong dengan DPRD.
Dalam banyak kasus kepala daerah yang terkena kasus korupsi hingga masuk bui, mengindikasikan bahwa budaya korupsi di kalangan pejabat masih sangat tinggi. Kadang pejabat yang awalnya bersih pun akhirnya terseret dalam lembah korupsi karena ia masuk ke sistem yang sudah puluhan tahun membudayakan korupsi berjamaah. Berbeda dengan Ahok, justru ia berusaha membubarkan budaya korupsi yang sudah mengakar puluhan tahun di DKI Jakarta. Ia adalah sosok yang tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan. Ia justru berusaha mengubah lingkungan menjadi bersih dari korupsi.
Namun kejujuran dan ketegasan Ahok cukup disayangkan, karena tidak diiringi dengan sikap yang santun. Gaya bicara ceplas ceplos dan tindakan kasar bisa jadi menjadikan ia tidak disukai oleh orang-orang yang berinteraksi secara langsung dengannya. Dilihat dari sepak terjangnya selama ini, Ahok adalah sosok yang mengutamakan kerja, namun mengabaikan sikap. Ibaratnya seperti mesin yang hanya bekerja tanpa mengenal perasaan. Padahal, kita tahu bahwa bangsa Indonesia dikenal sejak dulu sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan sopan santun.
Sebagai bangsa timur, semestinya para pemimpin juga menjunjung tinggi etika sopan santun tersebut. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa kesopanan tanpa diiringi kejujuran adalah bagai serigala berbulu domba yang justru berbahaya. Sekali lagi, kita sebagai bangsa timur sudah sepatutnya menerapkan etika sopan santun lebih-lebih dalam memimpin. Semoga kita mempunyai pemimpin dan pejabat yang benar, profesional dan santun. (*)
*Artikel ini telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul Hikmah Perseteruan DPRD DKI vs Ahok, pada Jumat, 6 Maret 2015.