Lines (05/08) – Banyak orang berpendapat kehidupan kita sebagai komunitas bangsa yang bernegara tengah menghadapi banyak persoalan sehingga terjadi kekarutmarutan dalam segala aspek kehidupan. Kekisruhan distribusi soal ujian nasional di 11 provinsi wilayah tengah Indonesia hanya bagian kecil dari sekian banyak persoalan tersebut.
Masih banyak kekarutan, bahkan jauh lebih akut, dalam berbagai aspek kehidupan sebagai sebuah komunitas bangsa, dari bidang ekonomi yang rentan terhadap fluktuasi dan krisis, dekadensi moral dengan kemerebakan kasus korupsi, berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, hingga masalah yang terkait dengan cara-cara berdemokrasi dalam kehidupan politik, baik pada aras lokal maupun nasional.
Jika sejumlah masalah tersebut tidak segera diselesaikan secara jernih dan bijak, tidak mustahil Indonesia menjadi negara gagal karena tidak mampu menyelesaikan, tidak hanya krisis moneter tetapi sudah sampai pada tataran krisis total.
Tanggal 26 Mei 2013 lalu, KPU mengagendakan sebagai hari ’’coblosan’’ terkait dengan Pilgub Jateng 2013. Tiga pasangan cagub-cawagub, yaitu Hadi Prabowo-Don Murdono, Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo, dan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko sudah memasarkan diri supaya dipilih oleh rakyat.
Persoalannya, apakah proses pilihan politik yang dilakukan warga Jawa Tengah sesuai dengan esensi demokrasi, dalam arti mereka memiliki free choices untuk menentukan figur yang pantas mendapat amanah memimpin provinsi ini hingga 2019? Ada beberapa faktor lain yang kemungkinan mengontaminasi proses itu sehingga pilihan rakyat merupakan sebuah pilihan semu.
Artinya, pilihan itu tidak mendasarkan pada rasio tetapi lebih pada emosi. Bahkan lebih celaka seandainya bila lebih mendasarkan pada transaksi komersial yang bersifat sesaat, dan kita bisa mengkaitkan dengan fenomena yang tak asing lagi di telinga, yaitu praktik politik uang (money politics).
Jika itu terjadi maka lengkaplah kekarutan dalam bidang kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang sudah kita bayar mahal melalui pengorbanan keringat, air mata, dan bahkan darah, selama periode awal reformasi harus dikhianati dan dirusak justru oleh mereka yang dulu pernah berjuang meruntuhkan Orde Baru dan menegakkan Orde Reformasi.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengatasi beragam persoalan tersebut. Bahkan mungkin kita tidak tahu dari mana harus menyelesaikan persoalan akut tersebut, apakah dari bawah atau atas lebih dulu, atau simultan dari atas sekaligus bawah. Kalau pun ada yang tahu, mereka kesulitan memulainya.
Awalnya kita sangat berharap bahwa partai politik bisa menjadi kekuatan penggerak dalam menegakkan demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai moral bangsa, yaitu Pancasila. Namun tahun-tahun politik selama masa reformasi menghadirkan kemunculan sejumlah persoalan yang justru bersumber dari ulah partai politik, termasuk politikus, yang memiliki kekuasaan besar menentukan arah perjalanan bangsa namun miskin moralitas.
Lantas, apakah kita, terutama berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas), dan lebih khusus ormas Islam, harus ikut tenggelam dalam absurditas politik tersebut? Apakah tidak ada hal konstruktif yang dapat kita lakukan?
Langkah Proaktif
Sebetulnya ada sesuatu yang bisa kita perbuat. Pertama; ormas, terutama yang bergerak dalam bidang dakwah agama perlu menegakkan netralitas. Dalam hal ini ormas Islam harus berdiri di atas semua segmen masyarakat. Ia harus memberikan pelayanan kepada siapa pun yang membutuhkan, tidak perlu terkotak-kotak dalam paham politik tertentu.
Namun sifat netral yang dimiliki ormas Islam bukan netralitas pasif melainkan aktif. Artinya, ia perlu melakukan kegiatan proaktif dalam rangka untuk ikut mengondisikan kegiatan demokratis di tengah masyarakat.
Kedua; ormas Islam seyogyanya mampu memosisikan dan memerankan diri sebagai learning organization, yakni organisasi yang dengan segala kekuatan, secara bersama dan terus-menerus mentransformasikan diri untuk lebih mampu mengumpulkan, mengelola, dan menggunakan pengetahuan demi keberhasilan organisasi (knowledge-based organization). Dengan demikian, ormas Islam tidak terjebak dalam kungkungan zaman edan, semua effort dalam masyarakat selalu ditujukan demi profit seeking atau hanya mencari keuntungan material.
Dalam konteks ini, ormas Islam semestinya dapat memberikan kontribusi dalam pendidikan politik alam masyarakat. Ormas Islam yang ideal adalah organisasi yang mampu mengonstruksi keterbangunan komunitas politik yang cerdas. Wadah itu harus berwujud komunitas yang mampu menciptakan integrasi politik, baik antarmassa maupun integrasi antara massa dan elite/ pemimpin.
Masyarakat politik yang cerdas juga merupakan masyarakat yang mampu menegakkan free choices dalam proses demokrasi, dan mereka harus menjadi masyarakat yang anti anarkisme dan anti kekerasan berpolitik dalam kehidupan berdemokrasi. (Sumber: Suara Merdeka, 29 April 2013)
Prof Dr H Singgih Tri Sulistiyono MHum
Ketua DPW LDII Jawa Tengah.
Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro